Pertama, aku ucapkan terimakasih
banyak kepada Tegar Karang. Seorang pegawai di salah satu perusahaan sekuritas
terkenal di Jakarta. Terimakasih sudah menjadi paman yang hebat, keren dan
super, bahkan untukku.
Akan aku ceritakan sepotong kisah
dari Tegar. Sepotong kisah yang membuatku tertegun sesaat. Tentang berdamai,
bukan melupakan, separah apapun luka itu…
“Sebenarnya apakah itu perasaan?
Keinginan? Rasa memiliki? Rasa sakit, rasa gelisah, sesak, tidak bisa tidur,
kerinduan, kebencian? Bukankah dengan berlalunya waktu, semuanya seperti gelas
kosong yang berdebu, begitu-begitu saja? Tidak istimewa…
Dalam hidup ini, ada banyak
sekali pertanyaan tentang perasaan yang tidak pernah terjawab. Sayangnya,
cerita ini juga tidak bisa memberikan jawaban pasti atas pertanyaan pertanyaan
itu. Kisah ini ditulis hanya untuk menyediakan pengertian yang berbeda, melalui
sebuah kisah keluarga hebat di pantai yang elok. Semoga setelah membacanya,
kita akan memiliki satu ruang kecil yang baru di hati, mari kita sebut dengan
‘pemahaman yang baru’” –sunset bersama rosie, tere liye.
Untuk kisah tentang Tegar, bukan
tentang Rosie…. Tentang pengertian yang mendalam oleh sekar…
“Terima kasih untuk ke sekian
kalinya mau bergabung bersama kami, Tegar.” Rosie tersenyum hangat. Tangan
kanannya menarik baju Anggrek yang bersiap mengejar adiknya, menawarkan tangan
untuk memegang kamera dari Nathan.
Kamera itu berganti operator.
Gambar-gambar pantai jimbaran yang dipenuhi pengunjung terlihat bergoyang di
belakang. Suara-suara pengunjung ditingkahi live music ikut terdengar. Sama
seperti malam-malam ini Pantai Jimbaran ramai oleh turis yang menyimak sunset –
meski lebih ramai meja tempat keluarga dengan empat gadis kecil itu sedang
berkumpul.
“Seharusnya kau dating langsung
ke Bali, Tegar. Ikut merayakan kebahagiaan bersama kami.” Nathan tertawa,
menyapa.
Aku ikut tertawa. Tertawa lebar
yang amat tulus. Sungguh mengesankan melihat keluarga Rosie dengan
putri-putrinya. Pernikahan yang sempurna. Amat sempurna.
Aku mengenal Nathan sepanjang usiaku.
Rosie tetanggaku waktu masih kecil di Lombok, terpisah lima rumah. Sebaliknya,
Nathan teman sekolahku sejak sekolah dasar. Ajaibnya meski tinggal hanya
terpisah satu pulau yang jaraknya hanya selemparan batu. Rosie dan aku di Gili
Trawangan, Nathan di Gili Meno, mereka berdua tidak pernah bertemu hingga kami
melanjutkan kuliah di Bandung, itu pun sudah di tahun-tahun terakhir.
Aku yang memperkenalkan mereka
satu sama lain. Dua bulan berkenalan, saat kami bertiga bersama-sama mendaki
gunung Rinjani, Nathan menyatakan perasaanya ke Rosie. Cepat sekali. Teramat
cepat malah. Dua bulan Nathan sebanding dengan dua puluh tahun milikku. Masa
lalu mereka yang indah, sekaligus sungguh masa laluku yang getir.
Enam bulan kemudaian selepas
wisuda, mereka menikah. Dan aku memutuskan pergi. Jauh-jauh hari sebelum itu
terjadi.
Selepas menikah, Nathan dan Rosie
kembali ke Gili Trawangan, salah satu anak pulau di gugusan utara pulau Lombok-kata
gili artinya pulau. Pulau yang dikelilingi terumbu karang memesona. Pulau dengan
air laut yang bening membiru. Kalian bisa melihat dengan jelas dari permukaan
air ribuan ikan yang berenang membentuk formasi. Penyu-penyu menari. Nathan
melanjutkan bisnis keluarga Rosie. Mengelola resor.
Aku memutuskan kerja di Jakarta.
Lima tahun berlalu… lima tahun
yang menyakitkan… lima tahun dengan malam-malam penuh helaan nafas, kerinduan
yang mendalam dan kesakitan yang teramat sangat…”
…
…
…
Hehe, aq sebenernya mau nerusin
ceritanya, tapi ternyata capek banget ngetiknya… mana dirusuhi bayu sama fanny…
Hm… dari kisah ini aku belajar
banyak hal…. Tentang bagaimana seharusnya menyikapi luka yang teramat dalam…
bukan masalah bagaimana kita pergi sejauh mungkin. Bukan masalah bagaimana kita
seharusnya membenci orang yang menyakiti kita. Masalahnya hanya waktu. Kapan
kita akan mulai berdamai dengan perasaan kita yang terluka… kapan kita akan
berdamai dengan semua perasaan yang meluap-luap itu.. bagaimana kita akan
berdamai dengan kenyataan… bagaimana kita menerima…
Bukan bagaimana kita melupakan…
bukan bagaimana kita membanci… waktu tak mampu dengan mudah mengobati segalanya
jika kita nggak mau berdamai… jika kita terus membeci, jika kita justru
membiarkan luka itu menganga…
Berdamai. Bukan membenci. Bukan
melupakan. Berdamai dengan diri sendiri.. dengan perasaanmu… berdamai dengan
segalanya… berdamai dengan kenyataan, berdamai dengan dia… dan alam akan
berdansa denganmu, memberimu banyak hal yang lebih indah…. Selalu begitu.
Cobalah!
Terimakasih paman tegar… dan tere
liye, terimakasih untuk ‘Sunset bersama Rosie’ yang untuk kali ini ku ubah
menjadi ‘Sunset bersama tegar..’ Aku sungguh ingin berkunjung ke resormu, di
Gili Trawangan. Suatu hari…