Rabu, 25 September 2013

Sunset Bersama Tegar



Pertama, aku ucapkan terimakasih banyak kepada Tegar Karang. Seorang pegawai di salah satu perusahaan sekuritas terkenal di Jakarta. Terimakasih sudah menjadi paman yang hebat, keren dan super, bahkan untukku.
Akan aku ceritakan sepotong kisah dari Tegar. Sepotong kisah yang membuatku tertegun sesaat. Tentang berdamai, bukan melupakan, separah apapun luka itu…
“Sebenarnya apakah itu perasaan? Keinginan? Rasa memiliki? Rasa sakit, rasa gelisah, sesak, tidak bisa tidur, kerinduan, kebencian? Bukankah dengan berlalunya waktu, semuanya seperti gelas kosong yang berdebu, begitu-begitu saja? Tidak istimewa…
Dalam hidup ini, ada banyak sekali pertanyaan tentang perasaan yang tidak pernah terjawab. Sayangnya, cerita ini juga tidak bisa memberikan jawaban pasti atas pertanyaan pertanyaan itu. Kisah ini ditulis hanya untuk menyediakan pengertian yang berbeda, melalui sebuah kisah keluarga hebat di pantai yang elok. Semoga setelah membacanya, kita akan memiliki satu ruang kecil yang baru di hati, mari kita sebut dengan ‘pemahaman yang baru’” –sunset bersama rosie, tere liye.
Untuk kisah tentang Tegar, bukan tentang Rosie…. Tentang pengertian yang mendalam oleh sekar…

“Terima kasih untuk ke sekian kalinya mau bergabung bersama kami, Tegar.” Rosie tersenyum hangat. Tangan kanannya menarik baju Anggrek yang bersiap mengejar adiknya, menawarkan tangan untuk memegang kamera dari Nathan.
Kamera itu berganti operator. Gambar-gambar pantai jimbaran yang dipenuhi pengunjung terlihat bergoyang di belakang. Suara-suara pengunjung ditingkahi live music ikut terdengar. Sama seperti malam-malam ini Pantai Jimbaran ramai oleh turis yang menyimak sunset – meski lebih ramai meja tempat keluarga dengan empat gadis kecil itu sedang berkumpul.
“Seharusnya kau dating langsung ke Bali, Tegar. Ikut merayakan kebahagiaan bersama kami.” Nathan tertawa, menyapa.
Aku ikut tertawa. Tertawa lebar yang amat tulus. Sungguh mengesankan melihat keluarga Rosie dengan putri-putrinya. Pernikahan yang sempurna. Amat sempurna.
Aku mengenal Nathan sepanjang usiaku. Rosie tetanggaku waktu masih kecil di Lombok, terpisah lima rumah. Sebaliknya, Nathan teman sekolahku sejak sekolah dasar. Ajaibnya meski tinggal hanya terpisah satu pulau yang jaraknya hanya selemparan batu. Rosie dan aku di Gili Trawangan, Nathan di Gili Meno, mereka berdua tidak pernah bertemu hingga kami melanjutkan kuliah di Bandung, itu pun sudah di tahun-tahun terakhir.
Aku yang memperkenalkan mereka satu sama lain. Dua bulan berkenalan, saat kami bertiga bersama-sama mendaki gunung Rinjani, Nathan menyatakan perasaanya ke Rosie. Cepat sekali. Teramat cepat malah. Dua bulan Nathan sebanding dengan dua puluh tahun milikku. Masa lalu mereka yang indah, sekaligus sungguh masa laluku yang getir.
Enam bulan kemudaian selepas wisuda, mereka menikah. Dan aku memutuskan pergi. Jauh-jauh hari sebelum itu terjadi.
Selepas menikah, Nathan dan Rosie kembali ke Gili Trawangan, salah satu anak pulau di gugusan utara pulau Lombok-kata gili artinya pulau. Pulau yang dikelilingi terumbu karang memesona. Pulau dengan air laut yang bening membiru. Kalian bisa melihat dengan jelas dari permukaan air ribuan ikan yang berenang membentuk formasi. Penyu-penyu menari. Nathan melanjutkan bisnis keluarga Rosie. Mengelola resor.
Aku memutuskan kerja di Jakarta.
Lima tahun berlalu… lima tahun yang menyakitkan… lima tahun dengan malam-malam penuh helaan nafas, kerinduan yang mendalam dan kesakitan yang teramat sangat…”
Hehe, aq sebenernya mau nerusin ceritanya, tapi ternyata capek banget ngetiknya… mana dirusuhi bayu sama fanny…
Hm… dari kisah ini aku belajar banyak hal…. Tentang bagaimana seharusnya menyikapi luka yang teramat dalam… bukan masalah bagaimana kita pergi sejauh mungkin. Bukan masalah bagaimana kita seharusnya membenci orang yang menyakiti kita. Masalahnya hanya waktu. Kapan kita akan mulai berdamai dengan perasaan kita yang terluka… kapan kita akan berdamai dengan semua perasaan yang meluap-luap itu.. bagaimana kita akan berdamai dengan kenyataan… bagaimana kita menerima…
Bukan bagaimana kita melupakan… bukan bagaimana kita membanci… waktu tak mampu dengan mudah mengobati segalanya jika kita nggak mau berdamai… jika kita terus membeci, jika kita justru membiarkan luka itu menganga…
Berdamai. Bukan membenci. Bukan melupakan. Berdamai dengan diri sendiri.. dengan perasaanmu… berdamai dengan segalanya… berdamai dengan kenyataan, berdamai dengan dia… dan alam akan berdansa denganmu, memberimu banyak hal yang lebih indah…. Selalu begitu. Cobalah!
Terimakasih paman tegar… dan tere liye, terimakasih untuk ‘Sunset bersama Rosie’ yang untuk kali ini ku ubah menjadi ‘Sunset bersama tegar..’ Aku sungguh ingin berkunjung ke resormu, di Gili Trawangan. Suatu hari…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar