Topik ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru, tapi sudah tersimpul
disalah satu sudut yang terbentuk oleh endapan pemahaman-pemahaman yang selama
ini saya pahami. Satu pola pikir yang mungkin tidak hanya saya yang memahami
dari prespektif ini. Sebuah sudut pandang tentang kemapanan dan pernikahan.
Akan sangat lucu karena coretan ini dibuat oleh seorang remaja tua yang belum
pernah menikah dan jomblo. -_-
Berawal dari dunia remaja yang terusik oleh kenyataan umur yang semakin
bertambah dan topik pembicaraan baru yang mungkin saat itu masih sangat dini
untuk dibicarakan, pernikahan. Sampai saat ini dengan umur hampir menginjak 21
tahun, sudah berkali-kali topik pembicaraan itu menyusup diam-diam diantara
obrolan saya dengan teman-teman sebaya, terutama perempuan. Topik yang semakin
kesini semakin sering kami bicarakan. Satu dua teman mulai mengirim undangan,
semakin ramai topik itu kami bicarakan. Dan entah untuk alasan apa, dari semua
teman yang sudah dan akan menikah sampai saat ini, semuanya perempuan.
Puncak dari semua ini sampai tangan saya rasanya sangat gatal untuk
menuliskan coretan ini adalah semalam. Saat salah seorang teman, perempuan,
menyeret topik pernikahan kedalam obrolan malam yang biasa kami lakukan. Curhatan
berawal dari kegelisahanya terhadap pasangannya yang selalu saja mengelak saat
dihadapkan dengan pembicaraan serius tentang hubungan mereka. Dan lagi-lagi
kata itu yang muncul, “mapan”. Ini alasan klasik. Oke, saya perjelas! Entahlah
apa yang membuat ini menjadi begitu rumit, tapi kata itu berkali-kali muncul
dan menjadi sumber masalah. Saat sang perempuan merasa sudah siap menjalin
hubungan yang lebih serius, “menunggu mapan” selalu menjadi senjata pamungkas
bagi kaum laki-laki. Coretan ini bukan menyudutkan pihak tertentu dan bukan
mendisriminasi antara perempuan dan laki-laki. Bukan juga membicarakan tentang
perempuan yang memilih karir dahulu sebelum manjadi ibu. Hanya sebatas rasa
gregetan ingin menuliskan sudut pandang saya, dan mungkin beberapa perempuan
lainnya yang sepemahaman dengan saya.
Umur 21 tahun bukanlah umur yang dini untuk menikah bagi perempuan.
Pilihan antara menikah atau berkarir sudah sangat wajar dipikirkan saat usia
kami menginjak kepala dua. Mungkin sedikit berbeda dengan laki-laki yang
biasanya mulai memikirkan tentang pernikahan setelah menginjak umur 25 tahun
keatas. Tetapi ini akan menjadi masalah saat mempunyai pasangan sebaya. Akan
ada pembicaraan sangat wajar saat sang perempuan mulai menanyakan keseriusan
pasangannya, dan sang laki-laki melemparkan pernyataan ‘nanti kalau sudah mapan’. Pertanyaannya adalah apa sih korelasi
antara mapan dengan menikah?
Mapan yang selalu dimaksudkan disini adalah kondisi nyaman baik dari segi
pendapatan yang mencukupi, kondisi social dari masyarakat yang mengakui
keberadaanya, dan meluas menjadi sudah punya rumah, sudah punya mobil, sudah
punya investasi, bla bla bla. Persamaan pemikiran antara perempuan dan
laki-laki dalam menerjemahkan kata mapan yang manjadi masalah. Apakah hubungan
serius yang selama ini diimpikan menunggu kriteria ini : laki-laki dewasa yang
ekonominya terjamin, punya pekerjaan jelas, dihormati banyak orang, berbudi
pekerti luhur, tampan, gagah dan berkharisma. Mungkin itulah mapan yang selama
ini menjadi pemahaman bersama. Tapi itu kapan? Tujuh tahun lagi, saat usia kami
sudah 27 tahun? Sepuluh tahun lagi, saat usia kami sudah 31 tahun? Pada saat
itu, bukankah wanita muda berumur 24 tahun yang masih cantik dan sedang sangat
matang akan lebih menarik? Setelah itu kami terlupakan dengan umur 31 tahun dan
harus mencari pasangan lain. Seperti itu? Itupun kalau 10 tahun lagi
benar-benar sudah mapan. Lha kalau belum?
Lalu ada yang mengelak. Kalau belum
mapan, nanti mau makan apa? Kalau punya anak bagaimana, sementara anak biayanya
besar. Saya tidak akan mengomentari ini secara panjang karena sudah dijawab
dengan sangat ketus oleh teman perempuan saya. Kalau kamu percaya tiap anak sudah diatur rejekinya masing-masing itu
bukan satu masalah. Lagi pula, yang penting sudah punya penghasilan, masalah
mapan kan bisa dibangun bersama!
Ya! Mapan kan bisa dibangun
bersama. Malah justru mapan harus dibangun bersama. Bukankah sangat indah saat
memulai sesuatu bersama-sama, dengan keluarga kecil yang mensupport
langkah-langkah sukses yang sudah direncanakan, saat gagal masih ada istri yang
menyemangati, saat berhasil akan dinikmati bersama. Sampai akhirnya suatu hari
akan mencapai definisi ‘mapan’ yang diharapkan. Dibandingkan dengan menunggu
mapan sendiri, jatuh sendiri, berusaha bangkit sendiri. Mungkin itu bukan sesuatu yang buruk, kalau
saja berhasil mapan pada akhirnya. Lha
kalau nggak mapan mapan? Umur 30 tahun tetapi masih saja kesusahan, tidak punya
penghasilan, tidak jelas tujuannya apa, dan tidak punya istri pula. Bagaimana?
Tapi ya, memang harus optimis selagi muda! Tapi tetap saja, mapan yang dibangun
bersama akan lebih mudah mencapainya, itu pandangan saya. Meskipun kembali lagi
ke individu masing-masing tentang kepercayaan dirinya.
Sekarang kembali ke masa-masa 21 tahun. ‘Nunggu lulus’ atau ‘nanti kalau sudah dapat kerja’ mau bagaimanapun
akan lebih masuk akal daripada alasan ‘mapan’. Lama-lama alasan ‘nunggu mapan’ tidak saya pandang menjadi
satu alasan yang benar. Saat kata-kata itu muncul, pikiran saya langsung
mengarah ke kesimpulan bahwa sang laki-laki belum yakin dengan sang perempuan.
Ini bukan masalah mapan tidak mapan, ini masalah yakin tidak yakin. Karena
bagaimanapun, saat seseorang sudah yakin, dan tentunya sudah punya penghasilan,
tidak ada yang dicari lagi bukan? Lalu buat apa sang perempuan disuruh nunggu
sampai mapan? Di keep dulu biar nggak lari? Biar besok kalo nggak mapan-mapan
masih ada yang mau? Tapi kalo mapan,
banyak yang mau jadi bisa milih antara pasangannya dulu atau
perempuan-perempuan lain yang masih muda?
Jangan ngomongin cinta ya
disini? Kalau udah bilang ‘nunggu mapan’,
atau ‘nanti dulu, aku belum siap’ atau nunggu sesuatu yang nggak pasti lainnya, itu udah
pasti bukan cinta. Itu nggak yakin.
Mau mengelak? Monggo.
Kemapanan adalah satu hal yang diimpikan semua orang. Kondisi nyaman,
dengan kebutuhan yang tercover dengan baik, dan kondisi social yang
menyenangkan akan lebih terasa lengkap saat semua itu dinikmati oleh sebuah
keluarga kecil yang bahagia bukan? Atau pilihannya adalah mencoba mencapai itu
sendiri sampai sudah pada taraf nyaman dan mapan yang dimaksudkan, baru
kemudian mencari pasangan hidup yang tentunya akan antri karena kesuksesan yang
dicapai. Tapi jika pilihan kedua yang ingin dilakukan, jangan ‘mengikat’
perempuan terlebih dahulu untuk jaga-jaga dengan status pacaran bertahun-tahun
dengan kata-kata manis ‘menunggu mapan’. It’s
bullshit! Kalau memang belum yakin, lepaskan saja. Biarkan dia mencari
laki-laki lain yang siap untuk bersama membangun kemapanan bersama dirinya,
atau bahkan mungkin mendapatkan laki-laki yang sudah mapan tanpa harus menunggu
anda menggantungkan nasibnya.
Solo, 15 September
2014
Bagaskara Pangestu
Special for tim
merchandise bamboo biennale 2014
Dan salut buat
temanku yang ‘paling berjiwa cowok’ yang habis lulus mau ngajak ‘temennya’
merit tanpa harus ngasih embel-embel ‘nunggu mapan’. Sukses oppa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar