Selasa, 16 September 2014

Antara ‘Nunggu Mapan’ dan ‘Digantungin’



Topik ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru, tapi sudah tersimpul disalah satu sudut yang terbentuk oleh endapan pemahaman-pemahaman yang selama ini saya pahami. Satu pola pikir yang mungkin tidak hanya saya yang memahami dari prespektif ini. Sebuah sudut pandang tentang kemapanan dan pernikahan. Akan sangat lucu karena coretan ini dibuat oleh seorang remaja tua yang belum pernah menikah dan jomblo. -_-
Berawal dari dunia remaja yang terusik oleh kenyataan umur yang semakin bertambah dan topik pembicaraan baru yang mungkin saat itu masih sangat dini untuk dibicarakan, pernikahan. Sampai saat ini dengan umur hampir menginjak 21 tahun, sudah berkali-kali topik pembicaraan itu menyusup diam-diam diantara obrolan saya dengan teman-teman sebaya, terutama perempuan. Topik yang semakin kesini semakin sering kami bicarakan. Satu dua teman mulai mengirim undangan, semakin ramai topik itu kami bicarakan. Dan entah untuk alasan apa, dari semua teman yang sudah dan akan menikah sampai saat ini, semuanya perempuan.
Puncak dari semua ini sampai tangan saya rasanya sangat gatal untuk menuliskan coretan ini adalah semalam. Saat salah seorang teman, perempuan, menyeret topik pernikahan kedalam obrolan malam yang biasa kami lakukan. Curhatan berawal dari kegelisahanya terhadap pasangannya yang selalu saja mengelak saat dihadapkan dengan pembicaraan serius tentang hubungan mereka. Dan lagi-lagi kata itu yang muncul, “mapan”. Ini alasan klasik. Oke, saya perjelas! Entahlah apa yang membuat ini menjadi begitu rumit, tapi kata itu berkali-kali muncul dan menjadi sumber masalah. Saat sang perempuan merasa sudah siap menjalin hubungan yang lebih serius, “menunggu mapan” selalu menjadi senjata pamungkas bagi kaum laki-laki. Coretan ini bukan menyudutkan pihak tertentu dan bukan mendisriminasi antara perempuan dan laki-laki. Bukan juga membicarakan tentang perempuan yang memilih karir dahulu sebelum manjadi ibu. Hanya sebatas rasa gregetan ingin menuliskan sudut pandang saya, dan mungkin beberapa perempuan lainnya yang sepemahaman dengan saya.
Umur 21 tahun bukanlah umur yang dini untuk menikah bagi perempuan. Pilihan antara menikah atau berkarir sudah sangat wajar dipikirkan saat usia kami menginjak kepala dua. Mungkin sedikit berbeda dengan laki-laki yang biasanya mulai memikirkan tentang pernikahan setelah menginjak umur 25 tahun keatas. Tetapi ini akan menjadi masalah saat mempunyai pasangan sebaya. Akan ada pembicaraan sangat wajar saat sang perempuan mulai menanyakan keseriusan pasangannya, dan sang laki-laki melemparkan pernyataan ‘nanti kalau sudah mapan’. Pertanyaannya adalah apa sih korelasi antara mapan dengan menikah?
Mapan yang selalu dimaksudkan disini adalah kondisi nyaman baik dari segi pendapatan yang mencukupi, kondisi social dari masyarakat yang mengakui keberadaanya, dan meluas menjadi sudah punya rumah, sudah punya mobil, sudah punya investasi, bla bla bla. Persamaan pemikiran antara perempuan dan laki-laki dalam menerjemahkan kata mapan yang manjadi masalah. Apakah hubungan serius yang selama ini diimpikan menunggu kriteria ini : laki-laki dewasa yang ekonominya terjamin, punya pekerjaan jelas, dihormati banyak orang, berbudi pekerti luhur, tampan, gagah dan berkharisma. Mungkin itulah mapan yang selama ini menjadi pemahaman bersama. Tapi itu kapan? Tujuh tahun lagi, saat usia kami sudah 27 tahun? Sepuluh tahun lagi, saat usia kami sudah 31 tahun? Pada saat itu, bukankah wanita muda berumur 24 tahun yang masih cantik dan sedang sangat matang akan lebih menarik? Setelah itu kami terlupakan dengan umur 31 tahun dan harus mencari pasangan lain. Seperti itu? Itupun kalau 10 tahun lagi benar-benar sudah mapan. Lha kalau belum?
Lalu ada yang mengelak. Kalau belum mapan, nanti mau makan apa? Kalau punya anak bagaimana, sementara anak biayanya besar. Saya tidak akan mengomentari ini secara panjang karena sudah dijawab dengan sangat ketus oleh teman perempuan saya. Kalau kamu percaya tiap anak sudah diatur rejekinya masing-masing itu bukan satu masalah. Lagi pula, yang penting sudah punya penghasilan, masalah mapan kan bisa dibangun bersama!
Ya! Mapan kan bisa dibangun bersama. Malah justru mapan harus dibangun bersama. Bukankah sangat indah saat memulai sesuatu bersama-sama, dengan keluarga kecil yang mensupport langkah-langkah sukses yang sudah direncanakan, saat gagal masih ada istri yang menyemangati, saat berhasil akan dinikmati bersama. Sampai akhirnya suatu hari akan mencapai definisi ‘mapan’ yang diharapkan. Dibandingkan dengan menunggu mapan sendiri, jatuh sendiri, berusaha bangkit sendiri.  Mungkin itu bukan sesuatu yang buruk, kalau saja berhasil mapan pada akhirnya. Lha kalau nggak mapan mapan? Umur 30 tahun tetapi masih saja kesusahan, tidak punya penghasilan, tidak jelas tujuannya apa, dan tidak punya istri pula. Bagaimana? Tapi ya, memang harus optimis selagi muda! Tapi tetap saja, mapan yang dibangun bersama akan lebih mudah mencapainya, itu pandangan saya. Meskipun kembali lagi ke individu masing-masing tentang kepercayaan dirinya.
Sekarang kembali ke masa-masa 21 tahun. ‘Nunggu lulus’ atau ‘nanti kalau sudah dapat kerja’ mau bagaimanapun akan lebih masuk akal daripada alasan ‘mapan’. Lama-lama alasan ‘nunggu mapan’ tidak saya pandang menjadi satu alasan yang benar. Saat kata-kata itu muncul, pikiran saya langsung mengarah ke kesimpulan bahwa sang laki-laki belum yakin dengan sang perempuan. Ini bukan masalah mapan tidak mapan, ini masalah yakin tidak yakin. Karena bagaimanapun, saat seseorang sudah yakin, dan tentunya sudah punya penghasilan, tidak ada yang dicari lagi bukan? Lalu buat apa sang perempuan disuruh nunggu sampai mapan? Di keep dulu biar nggak lari? Biar besok kalo nggak mapan-mapan masih ada yang mau? Tapi kalo mapan, banyak yang mau jadi bisa milih antara pasangannya dulu atau perempuan-perempuan lain yang masih muda?
Jangan ngomongin cinta ya disini? Kalau udah bilang ‘nunggu mapan’, atau ‘nanti dulu, aku belum siap’ atau nunggu sesuatu yang nggak pasti lainnya, itu udah pasti bukan cinta. Itu nggak yakin. Mau mengelak? Monggo.
Kemapanan adalah satu hal yang diimpikan semua orang. Kondisi nyaman, dengan kebutuhan yang tercover dengan baik, dan kondisi social yang menyenangkan akan lebih terasa lengkap saat semua itu dinikmati oleh sebuah keluarga kecil yang bahagia bukan? Atau pilihannya adalah mencoba mencapai itu sendiri sampai sudah pada taraf nyaman dan mapan yang dimaksudkan, baru kemudian mencari pasangan hidup yang tentunya akan antri karena kesuksesan yang dicapai. Tapi jika pilihan kedua yang ingin dilakukan, jangan ‘mengikat’ perempuan terlebih dahulu untuk jaga-jaga dengan status pacaran bertahun-tahun dengan kata-kata manis ‘menunggu mapan’. It’s bullshit! Kalau memang belum yakin, lepaskan saja. Biarkan dia mencari laki-laki lain yang siap untuk bersama membangun kemapanan bersama dirinya, atau bahkan mungkin mendapatkan laki-laki yang sudah mapan tanpa harus menunggu anda menggantungkan nasibnya.

Solo, 15 September 2014
Bagaskara Pangestu
Special for tim merchandise bamboo biennale 2014
Dan salut buat temanku yang ‘paling berjiwa cowok’ yang habis lulus mau ngajak ‘temennya’ merit tanpa harus ngasih embel-embel ‘nunggu mapan’. Sukses oppa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar