Minggu, 07 Desember 2014

Ini sudah oktober!

(haha.. postingan ini ditulis akhir oktober lalu tapi belum sempat diposting)
Hai...
Ini sudah oktober dan aku baru menuliskan ini sekarang. Bukan karena waktu kemarin tak ada kesempatan, bukan juga karena aku malas menulis sesuatu disini. Hanya saja aku ketakutan untuk menuliskan apa pun saat itu. Segala kegelisahanku tentang dia. Tekanan dari teman-temanku untuk menyuruhku berhenti, yang meskipun menyakitkan tapi mereka hanya menghawatirkanku. Menghawatirkan masa depanku, kebahagiaanku dan moralku. Tapi ya, aku tertekan. Apa yang kalian harapkan benar-benar bertentangan dengan apa yang kuinginkan. Mungkin ini pertamakalinya aku benar-benar ingin menjadi penjahat. Ah, sudahlah.
Oktober ini sudah hampir berakhir.
Kira-kira seminggu yang lalu aku mengiyakan ajakannya untuk -seperti orang kebanyakan- pacaran. Di greenhouse, dua hari setelah aku ulang tahun, dan melewati diskusi yang cukup intens untuk mencapai kesepakatan itu. Oh, bagaimana mungkin aku bisa melewatkan kesempatan untuk berharap bisa menua bersama orang dengan kualitas seperti dia!
Aku terbiasa menekan segala harapanku padanya. Mungkin sampai sekarang, bahkan. Bukan aku tidak yakin, hanya saja semua ini terasa sangat menyenangkan sampai-sampai aku takut suatu saat terbangun dan menyadari bahwa semua hanya ilusiku semata. Seperti yang sudah-sudah.
Ah ya! Aku pikir ini adalah awal mulai dari kenekatan dan kekeras kepalaanku untuk bertahan selama ini. Bergerilya dengan rasa cemas dan takut yang memenuhi dadaku. Bersenang-senang di tepi jurang dan berfikir untuk hanya fokus pada rasa bahagianya. Dan aku sekarang bagaikan ditempatkan di satu tempat yang lapang. Dibebaskan berbahagia dengan semua imajinasi dan harapanku yang terkadang liar.
Aku -tentu saja- tak mungkin menuliskan semua yang terjadi akhir-akhir ini, dan segala bentuk perasaanku. Tak akan muat. Terlalu gila. Tapi ya, akan kucoba menuangkan selapis kulit ari dari semua ini.
Sandy, terimakasih!
Aku tak tahu apakah seharusnya aku berterimakasih padamu atau tidak. Haha.. tapi ya, aku sedang sangat bahagia bersamamu sekarang ini. Meskipun kita berbatas ruang dan waktu. Segala ide gila yang kita rumuskan bersama, segala pikiran yang selalu kita bagi dan pengalaman masing-masing yang tentunya sangat berbeda tapi itu menyenangkan sayang! Kau dengan segala caramu, perhatianmu (oh tidak harus aku katakan bukan? Ini kata jamak!), keangkuhanmu sampai kewaguanmu yang sudah mencapai tingkat tertinggi. Hahaha..
Terimakasih. Aku ingin sebuah kisah cinta manis yang wagu dan tak terlupakan. Didepan akan sangat banyak hal yang membuat aku atau kau goyah dengan ini, aku yakin. Pilihan-pilihan sulit, egoisme masing-masing yang tinggi, karena ya, aku sama keras kepalanya sepertimu, errr... mungkin keinginan yang berbeda, dan entahlah. Tapi itu akan sangat menyenangkan bukan? Kita akan melewatinya bukan? Oh, ayolah! Hahaha...
Terimakasih, karena setidaknya telah membuatku merasa menjadi perempuan. Love you, Sandy!

-Akanoma, beratus-ratus kilometer darimu-

Selasa, 16 September 2014

Antara ‘Nunggu Mapan’ dan ‘Digantungin’



Topik ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru, tapi sudah tersimpul disalah satu sudut yang terbentuk oleh endapan pemahaman-pemahaman yang selama ini saya pahami. Satu pola pikir yang mungkin tidak hanya saya yang memahami dari prespektif ini. Sebuah sudut pandang tentang kemapanan dan pernikahan. Akan sangat lucu karena coretan ini dibuat oleh seorang remaja tua yang belum pernah menikah dan jomblo. -_-
Berawal dari dunia remaja yang terusik oleh kenyataan umur yang semakin bertambah dan topik pembicaraan baru yang mungkin saat itu masih sangat dini untuk dibicarakan, pernikahan. Sampai saat ini dengan umur hampir menginjak 21 tahun, sudah berkali-kali topik pembicaraan itu menyusup diam-diam diantara obrolan saya dengan teman-teman sebaya, terutama perempuan. Topik yang semakin kesini semakin sering kami bicarakan. Satu dua teman mulai mengirim undangan, semakin ramai topik itu kami bicarakan. Dan entah untuk alasan apa, dari semua teman yang sudah dan akan menikah sampai saat ini, semuanya perempuan.
Puncak dari semua ini sampai tangan saya rasanya sangat gatal untuk menuliskan coretan ini adalah semalam. Saat salah seorang teman, perempuan, menyeret topik pernikahan kedalam obrolan malam yang biasa kami lakukan. Curhatan berawal dari kegelisahanya terhadap pasangannya yang selalu saja mengelak saat dihadapkan dengan pembicaraan serius tentang hubungan mereka. Dan lagi-lagi kata itu yang muncul, “mapan”. Ini alasan klasik. Oke, saya perjelas! Entahlah apa yang membuat ini menjadi begitu rumit, tapi kata itu berkali-kali muncul dan menjadi sumber masalah. Saat sang perempuan merasa sudah siap menjalin hubungan yang lebih serius, “menunggu mapan” selalu menjadi senjata pamungkas bagi kaum laki-laki. Coretan ini bukan menyudutkan pihak tertentu dan bukan mendisriminasi antara perempuan dan laki-laki. Bukan juga membicarakan tentang perempuan yang memilih karir dahulu sebelum manjadi ibu. Hanya sebatas rasa gregetan ingin menuliskan sudut pandang saya, dan mungkin beberapa perempuan lainnya yang sepemahaman dengan saya.
Umur 21 tahun bukanlah umur yang dini untuk menikah bagi perempuan. Pilihan antara menikah atau berkarir sudah sangat wajar dipikirkan saat usia kami menginjak kepala dua. Mungkin sedikit berbeda dengan laki-laki yang biasanya mulai memikirkan tentang pernikahan setelah menginjak umur 25 tahun keatas. Tetapi ini akan menjadi masalah saat mempunyai pasangan sebaya. Akan ada pembicaraan sangat wajar saat sang perempuan mulai menanyakan keseriusan pasangannya, dan sang laki-laki melemparkan pernyataan ‘nanti kalau sudah mapan’. Pertanyaannya adalah apa sih korelasi antara mapan dengan menikah?
Mapan yang selalu dimaksudkan disini adalah kondisi nyaman baik dari segi pendapatan yang mencukupi, kondisi social dari masyarakat yang mengakui keberadaanya, dan meluas menjadi sudah punya rumah, sudah punya mobil, sudah punya investasi, bla bla bla. Persamaan pemikiran antara perempuan dan laki-laki dalam menerjemahkan kata mapan yang manjadi masalah. Apakah hubungan serius yang selama ini diimpikan menunggu kriteria ini : laki-laki dewasa yang ekonominya terjamin, punya pekerjaan jelas, dihormati banyak orang, berbudi pekerti luhur, tampan, gagah dan berkharisma. Mungkin itulah mapan yang selama ini menjadi pemahaman bersama. Tapi itu kapan? Tujuh tahun lagi, saat usia kami sudah 27 tahun? Sepuluh tahun lagi, saat usia kami sudah 31 tahun? Pada saat itu, bukankah wanita muda berumur 24 tahun yang masih cantik dan sedang sangat matang akan lebih menarik? Setelah itu kami terlupakan dengan umur 31 tahun dan harus mencari pasangan lain. Seperti itu? Itupun kalau 10 tahun lagi benar-benar sudah mapan. Lha kalau belum?
Lalu ada yang mengelak. Kalau belum mapan, nanti mau makan apa? Kalau punya anak bagaimana, sementara anak biayanya besar. Saya tidak akan mengomentari ini secara panjang karena sudah dijawab dengan sangat ketus oleh teman perempuan saya. Kalau kamu percaya tiap anak sudah diatur rejekinya masing-masing itu bukan satu masalah. Lagi pula, yang penting sudah punya penghasilan, masalah mapan kan bisa dibangun bersama!
Ya! Mapan kan bisa dibangun bersama. Malah justru mapan harus dibangun bersama. Bukankah sangat indah saat memulai sesuatu bersama-sama, dengan keluarga kecil yang mensupport langkah-langkah sukses yang sudah direncanakan, saat gagal masih ada istri yang menyemangati, saat berhasil akan dinikmati bersama. Sampai akhirnya suatu hari akan mencapai definisi ‘mapan’ yang diharapkan. Dibandingkan dengan menunggu mapan sendiri, jatuh sendiri, berusaha bangkit sendiri.  Mungkin itu bukan sesuatu yang buruk, kalau saja berhasil mapan pada akhirnya. Lha kalau nggak mapan mapan? Umur 30 tahun tetapi masih saja kesusahan, tidak punya penghasilan, tidak jelas tujuannya apa, dan tidak punya istri pula. Bagaimana? Tapi ya, memang harus optimis selagi muda! Tapi tetap saja, mapan yang dibangun bersama akan lebih mudah mencapainya, itu pandangan saya. Meskipun kembali lagi ke individu masing-masing tentang kepercayaan dirinya.
Sekarang kembali ke masa-masa 21 tahun. ‘Nunggu lulus’ atau ‘nanti kalau sudah dapat kerja’ mau bagaimanapun akan lebih masuk akal daripada alasan ‘mapan’. Lama-lama alasan ‘nunggu mapan’ tidak saya pandang menjadi satu alasan yang benar. Saat kata-kata itu muncul, pikiran saya langsung mengarah ke kesimpulan bahwa sang laki-laki belum yakin dengan sang perempuan. Ini bukan masalah mapan tidak mapan, ini masalah yakin tidak yakin. Karena bagaimanapun, saat seseorang sudah yakin, dan tentunya sudah punya penghasilan, tidak ada yang dicari lagi bukan? Lalu buat apa sang perempuan disuruh nunggu sampai mapan? Di keep dulu biar nggak lari? Biar besok kalo nggak mapan-mapan masih ada yang mau? Tapi kalo mapan, banyak yang mau jadi bisa milih antara pasangannya dulu atau perempuan-perempuan lain yang masih muda?
Jangan ngomongin cinta ya disini? Kalau udah bilang ‘nunggu mapan’, atau ‘nanti dulu, aku belum siap’ atau nunggu sesuatu yang nggak pasti lainnya, itu udah pasti bukan cinta. Itu nggak yakin. Mau mengelak? Monggo.
Kemapanan adalah satu hal yang diimpikan semua orang. Kondisi nyaman, dengan kebutuhan yang tercover dengan baik, dan kondisi social yang menyenangkan akan lebih terasa lengkap saat semua itu dinikmati oleh sebuah keluarga kecil yang bahagia bukan? Atau pilihannya adalah mencoba mencapai itu sendiri sampai sudah pada taraf nyaman dan mapan yang dimaksudkan, baru kemudian mencari pasangan hidup yang tentunya akan antri karena kesuksesan yang dicapai. Tapi jika pilihan kedua yang ingin dilakukan, jangan ‘mengikat’ perempuan terlebih dahulu untuk jaga-jaga dengan status pacaran bertahun-tahun dengan kata-kata manis ‘menunggu mapan’. It’s bullshit! Kalau memang belum yakin, lepaskan saja. Biarkan dia mencari laki-laki lain yang siap untuk bersama membangun kemapanan bersama dirinya, atau bahkan mungkin mendapatkan laki-laki yang sudah mapan tanpa harus menunggu anda menggantungkan nasibnya.

Solo, 15 September 2014
Bagaskara Pangestu
Special for tim merchandise bamboo biennale 2014
Dan salut buat temanku yang ‘paling berjiwa cowok’ yang habis lulus mau ngajak ‘temennya’ merit tanpa harus ngasih embel-embel ‘nunggu mapan’. Sukses oppa!

Sabtu, 06 September 2014

Begini.

Ini akan menjadi postingan terpendekku.
Bukan apa2. Aku hanya ingin menuliskannya segamblang mungkin bagaimana rasanya sekarang ini.
.
Begini,
Seandainya teori reingkarnasi benar adanya, aku ingin dikehidupanku selanjutnya bertemu denganmu sebelum kau bertemu dengannya!
.
Sampai berjumpa di kehidupan yang lebih manusiawi kawan!

Jumat, 01 Agustus 2014

Kue moci yang menghilang diujung lidah.

Aku sudah benar benar ingin menulis sesuatu tentang dia disini semenjak beberapa waktu yang lalu. Tapi mungkin sampai sekarang tidak ada yang benar benar bisa kutulis. Bukan seseorang yang tak memiliki arti, lebih dari itu. Seorang teman yang berawal dari bukan teman. Dari setetes kekaguman yang bergumul menjadi sebuah ilusi. Tentang seorang anak yang ingin mendapatkan permen. Meskipun ia tahu, permen itu milik seorang pujangga.
.
Ini tidak benar. Aku benar-benar tidak tahu apa yang ingin kutulis. Mungkin tentang keresahan yang mendalam. mungkin tentang angin yang bertiup disela sela jari. Mungkin tentang savana yang menghilang diujung kelingking.
Tentang buah pala yang merekah. Tentang sandal bututmu. Tentang surga. Yang berarti kau harus mati sebelumnya. Menikam dirimu sendiri. Menikmati ujung pisau yang bergerigi. Dan semua hanyalah ilusimu semata.
.
Tuh kan aku semakin absurd menulis ini. Tapi kumohon kawan, kali ini ijinkan aku menuiskan hal-hal gila yang tak teratur. ijinkan jari-jariku meragkai huruf demi huruf sesuka hatiku. Kali ini saja. Abaikan saja semuanya yang kutulis disini. Aku hanya melepas kampas rem di ujung jemariku.
.
Dipagi yang kurang ajar ini aku menemukan bahwa ya, kau ada disana. Disuatu tempat yang teduh. Bersama kenikmatan lainnya. Es kelapa muda, mungkin. Bersama sesuatu yang membuatku terengah. Hai kawan, bukankah sangat berlebihan bahkan dari puluhan postingan di blog ini ada dua postingan yang khusus kutujukan padamu? Oh meennn!
Satu hal tentang rasa bersalahku yang mendalam. Dan kali ini tentang keresahanku yang samasekali membuatku seperti zombie. Kau tahu zombie? Ya. samasekali seperti itu.
.
Aku pernah berjanji kepada diriku sendiri, untuk tetap seperti ini dan tidak akan pernah melebihi apa yang tak boleh kusentuh. Semut-semut ini sama-sama tahu apa yang harus dilakukan. Bahwa memakan gula terlalu banyak juga bukan merupakan keputusan yang cerdas. Tidak akan ada cerita selain pertemanan. Selain persahabatan. Tidak ada. Kami sama-sama tahu. Bahwa dunia ini bulat dan berputar. Bahwa keputusan terbaikku adalah memakan durian beserta kulitnya.
.
Seperti cicak didinding. Seperti gurauanmu tentang kita, seperti api yang tiba-tiba menyebar disela-sela peradaban. Angin yang membawa aroma kematian. Dengan rasa bersalah yang menggunung seperti kawanan rusa yang sedang mengamuk. Bukan karena ada ular yang membelit mereka, tapi karena mereka tahu, bahwa bagaimanapun, apapun yang bisa kau lakukan, mereka hanyalah rusa. Tak bisa menjadi ular. Bagaimanapun.
Mengetahui tatacara bagaimana menghadapi angin yang berhembus. Semudah membungkukkan badan ketika memegang ribuan kunci yang membuatmu menghela nafas. Pendek-pendek, tapi berirama. Seperti pedang yang ditarik dari tempatnya. Seperti jeruji besi yang kokoh menghalangi semuanya menjadi beradu, bercampur. Dan pada akhirnya segalanya tampak sangat kabur. Antara kau dengan apa yang kau inginkan dan yang terjadi dan yang membuatmu resah dan yang membuatnya ada.
Kau tahu, bahkan berlianpun tampak sangat keruh saat kau jatuhkan kedalam kebusukan ini. Membelai indah jari-jarimu sampai kau terluka. Membiarkan setiap detik nadimu berdenyut pelan sambil berbisik, membisikimu bahwa kau bisa tenggelam. Bukan makna yang sesungguhnya. Hanya untaian kata tak berarti yang akan membunuhmu secara perlahan. Pelan-pelan, tak terlihat, tak terasa, tapi mematikan.
.
Apa yang kau pikirkan? Bahwa kau tak memahami setiap kata yang kutulis disini? Kau pikir aku paham? Aku juga tak tahu. Tak paham, dan sangat malas untuk memahaminya. Sama. Sama seperti apa yang kurasakan saat ini. Ditengah pagi yang berembun ini. Dengan dia yang berada beberapa meter dariku. Dan semuanya terasa absurd dan tak bisa diartikan. Tapi, biarlah. Seperti segalanya yang kutulis disini. Biarkanlah apa adanya. biarkan menemukan jalannya sendiri, Tapi kita tentusaja tahu apa yang tak boleh disentuh. Bahkan ketika kau sangat halus seperti angin. Aku tak kan menangkapmu dengan tangan. Bukan karena tidak bisa, lebih karena memang seharusnya tidak kutangkap. Seperti kupu-kupu yang terbang mengitarimu. Yang bisa kau nikmati keindahannya hanya jika kau biarkan dia terbang disekelilingmu. Bukan kau tangkap dan kau miliki. Bukan. Dan aku tak peduli bahwa tak seharusnya kau terbang disekitar sini. Tak peduli. Benar-benar tak peduli.

Rabu, 11 Juni 2014

Daun yang jatuh, sungguh tak akan membenci angin...

Aku sudah sampai rumah. Proyek sudah beres, tinggal besok jumat ketemu klien. Dan sekarang aku benar-benar tidak bisa tidur memikirkan postinganku yang terakhir. Banyak hal sebenarnya yang aku dapatkan dari sana. Ini semua tentang penerimaan. Tentang keikhlasan. Seperti kata bang tere liye yang selalu menguatkanku, bahwa daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Dia rela jatuh ke bumi saat sudah tiba masanya. Matahari terbenam rela tenggelam ditelan samudra saat tiba waktunya. Pun bunga yang sangat cantik akan rela luruh ke bumi saat sudah tiba waktunya. Mereka rela, ikhlas, menerima siklus waktu karena memang sudah tiba waktunya. Karena mereka tahu, suatu hari, esok atau lusa, saat sudah tiba masanya, daun muda akan tumbuh kembali, matahari pagi akan terbit lagi, pucuk bunga akan kuncup lagi. Saat sudah tiba masanya. Ini semua tentang penerimaan, bahwa hidup harus menerima. Penerimaan yang indah.
.
Kisah ini pun begitu. kisah ini dipandang dari sudut pandangku, karena dengan begitu aku bisa menjadi pemeran utama... kecuali jika aku dari sudut pandang mereka, aku hanya angin yang berhembus yang tidak berarti apapun. Aku hanya sebuah daun yang jatuh di sebuah roman. Aku hanya matahari tenggelam disebuah film laga. Aku hanya sekuntum bunga yang luruh ke bumi pada sebuah novel detektif. Tapi dari sudut pandangku, aku selalu menjadi spongebob dalam kartun spongebob square pants. tet teretet teret teret.
Haha,,,
Ya, ini semua tentang penerimaan. Aku bahkan sudah menyiapkan dan memperkirakan ini akan terjadi, sungguh. Meskipun tidak separah ini, tapi setidaknya aku tahu dengan benar bahwa suatu hari ini akan berhenti. Hanya saja dalam persiapanku aku mengira semuanya bukan kebohongan, dan ini berhenti memang karena sudah tidak bisa dilanjutkan. Meskipun pada akhirnya, ternyata ini berhenti karena memang sebenarnya tidak ada yang dimulai bukan? Aku hanya bermain sendiri, dengan kesimpulan-kesimpulanku yang ternyata meleset semua, bahkan kepada orang yang kupercayai. hoho...
Well, mau bagaimanapun aku mengambil banyak hal dari kisah ini. Buat bintang tiga yang entah bagaimana membuatku merasa bersalah, aku tidak tahu harus berterimakasih, meminta maaf, marah, membencimu atau bagaimana. Aku benar-benar tidak tahu. Yang jelas, semoga semuanya baik-baik saja. Menghabiskan beberapa waktu lalu denganmu benar benar menyenangkan, meskipun ternyata semua itu hanya ilusiku semata. Aku baru tahu ternyata teoriku yang pernah kusampaikan padamu bahwa aku merasa seperti benda tembus pandang ternyata benar. Kau melihat ke arahku, tapi aku transparan, tidak terlihat. Kau hanya melihat dia. Tak pernah aku. Bulshit tentang teori kebutuhan dan keinginan. Aku tak pernah menjadi kebutuhan. Hanya kaca tembus pandang. Tapi well, disini aku hanya mencoba menerima. Penerimaan yang indah, bahwa semua saat tiba pada waktunya, aku harus siap. Harus rela luruh ke bumi saat semuanya sudah tiba pada waktunya, penerimaan yang indah. Bahwa, esok lusa semua akan baik-baik saja.
Aku mendapat banyak hal darimu, tentang menata hidup, tentang membranding diri, tentang memetakan harapan, tentang kesabaran, tentang keiklasan, tentang penerimaan. Aku menerima, akan ku tanggung semua. Setidaknya aku pernah berusaha. Ada bagian yang rusak disana, tapi akan selalu ada cara untuk memperbaikinya bukan?  Sudahlah, aku tak pernah menyesalkan keputusanku. Aku hanya menyesalkan sikapmu.
Buat bintang empat, kau terakhir bilang bahwa kau mundur. Aku tak pernah mengiyakan, aku tak pernah mempertanyakan. dan suatu hari, mungkin esok lusa saat kau kembali maju, aku tak kan pernah mengomentarimu sebagai penjilat ludah sendiri, tidak, bukan seperti itu. Aku tahu betul Tuhan selalu dengan mudah membolak balikan perasaan. Ini bukan tentang janji dan perkataan, ini tentang perasaan. Bahkan ketika kau bilang kau menjilat ludah sendiri saat bersamanya, aku tidak setuju dengan pernyataanmu. Hati selalu bisa berubah. Aku tahu betul itu.
Terimakasih untuk waktu itu, sebuah obrolan penuh emosi di sebuah warung bakmi.Aku yakin itu juga bagian dari rencana Tuhan. Kita sudah memplaningkan untuk bertemu jauh-jauh hari saat aku dan bintang tiga masih baik-baik saja. Tapi tak pernah berhasil bertemu. Dan obrolan kita terjadi tepat satu hari setelah pembicaraanku dan bintang tiga yang menghentikan semuanya, membuangku begitu saja. Mungkin kalau kita berbicara sebelum itu, aku bisa benar-benar terhantam. Tapi karena semuanya sudah berahkir, dan kita baru membuka semuanya, rasanya hantamannya tidak sekeras yang dibayangkan. Dan jika kita tak pernah membicarakannya, mungkin sekarang aku sangat kesakitan. Tapi karena semuanya kau buka, rasa sakitnya justru menghilang. Sekarang rasanya kebas. Entah karena terlalu sakit, entah karena sakitku kalah dengan marahku, entah karena aku malu luarbiasa karena kenyataan bahwa ternyata aku bukanlah apa-apa, bahkan bukan sebutir debu pun. Entahlah, tapi merasakan bahwa ini tidak semengerikan yang ku bayangan, itu membuatku sangat bersyukur. Terutama karena aku bisa menerima. Tuhan memberiku hati yang kuat.
Tuhan juga memberimu hati yang kuat lun, tetap semangat ya..! Mundur bukan bagian dari janjimu dan bukan sesuatu yang perlu kau pertanggungjawabkan. Hati selalu bisa berubah. Tapi kamu selalu berhak untuk dapat seseorang yang lebih baik.
.
Hmm... sepertinya postingan ini sudah cukup panas meskipun aku jelas menahan semuanya. Well.. bagaimanapun juga, ada sebuah percakapan yang kuingat. "suatu saat, saat kita punya kerjaan masing-masing, kadang-kadang kita tiba-tiba janjian buat makan diluar. Dan kita ketemu disela-sela jam sibuk kita, mengobrol sambil makan dan bernostalgia seperti sekarang ini. Membicarakan sesuatu yang menarik. haha... ". Sepotong pembicaraan yang entah kenapa menyenangkan sekali. Pembicaraan saat semuanya baik-baik saja. Saat tak ada perasaan melebihi sahabat. Saat kamu benar-benar menjadi teman yang baik, yang menyenangkan, tanpa prasangka, tanpa perasaan. Pembicaraan dua sahabat yang sudah lama tidak mengobrol. Ya, kau selalu menjadi sahabatku kawan. Meskipun kau benar-benar berenksek sekalipun. Ketika semuanya berjalan tanpa perasaan. Hanya ikatan persahabatan. Suatu hari, saat semua sungguh sudah baik-baik saja, mungkin jika memungkinkan. "hey, luang? Ayo keluar makan."

Hot Machiato at Green Book Coffe

Sekarang ini aku sedang menunggu teman-teman untuk membahas proyek renovasi rumah yang sedang kami garap. Sementara ini masih sendirian, ditemani secangkir hot machiato dan senandung lagu dari speaker yang berada tepat diatasku. Menganggu kenyamanan pengunjung lain gara2 ketawa sendirian, dan sesekali dilirik mas-mas ganjen di depan pintu dengan pandangan hina. hahaha...
.
Jadi ceritanya mereka lama banget, nggak nongol-nongol, dan asilkah aku berselancar di dunia maya. ciyee... sampai tiba-tiba lagu di cafe ini berubah. Sebuah lagu dari gita gutawa yang cukup membuatku berhenti terdiam. Rangkaian kata.
.
... Semua hanya rangkaian kata
Yang kau sebar ke semua wanita
Ooh bodohnya aku sempat percaya

Kamu ...
Sempat buatku berpikir semua
Yang kita punya nyata
Kamu ...
Dan semua kata - katamu
Semua palsu...
.
Lalu pikiranku melayang-layang ke beberapa minggu lalu. Saat sebuah manuver bersejarah terjadi di festival perasaanku. Ya, beberapa minggu lalu tapi sengaja tidak kutuliskan disini. Karena mungkin akan menyakitkan beberapa orang yang kemungkinan membaca postinganku di blog ini. Lalu kenapa malam ini kuputuskan untuk membahasnya? Karena beberapa minggu terakhir ini, masalah itu membuatku kebas. Jujur, aku menunggu rasa sakit itu datang dan aku bisa meluapkannya. Membebaskan semua emosiku meledak keluar. Tapi tidak terjadi. Aku masih saja kebas. Merasa baik-baik saja, meskipun aku tahu ada sesuatu yang serasa menyumpal tenggorokanku setiap waktu.
.
Aku baik-baik saja. bahkan sejak malam itu, di cafe tengah hutan itu. Aku masih baik-baik saja sampai sekarang. Setidaknya aku merasa baik-baik saja. Berkali-kali aku berusaha menangis, berusaha meluapkan emosiku, menyalahkan dia, menyalahkan semua orang. Tapi tidak bisa. Aku tidak bisa menangis sampai puas, hanya beberapa kali itupun setelah kupaksa karena sudah tidak tahan menanggung gumpalan besar yg menyumbat kerongkonganku sepanjang waktu. Aku benar benar kebas. Tidak bisa merasakan apapun. Meskipun tidak bisa aku pungkiri, beberapa kali aku menemukan diriku terdiam memikirkan waktu-waktu saat aku bersamamu, dan berfikir itu semua palsu, bahwa semua adalah kebohongan, bahwa aku begitu bodoh, bahwa aku sekali lagi salah menyimpulkan sesuatu. Dan setiap itu terjadi, aku selalu berharap ada rasa sakit yang datang. Lalu aku tersadar, bahwa tidak ada yang sakit. Aku tidak bisa menemukan hatiku. Setelah itu aku kembali melakukan rutinitasku.
.
Menyenangkan sebenarnya mengetahui bahwa ini tidak menyakitkan. Meskipun ya, gumpalan itu ada sepanjang waktu, dan entah kapan bisa hilang. Tapi setidaknya, aku selalu masih bisa tersenyum bahagia bersama orang-orang disekitarku, aku masih punya ribuan harapan yang menunggu untuk digapai, aku masih bisa hidup bahkan lebih baik daripada sebelumnya. Melegakan.
.
Aku memang masih merasa sangat direndahkan sampai-sampai diperlakukan seperti sampah seperti itu. Ditipu habis-habisan oleh kesimpulan-kesimpulan yang kubuat sediri. Dijadikan semacam pelarian oleh seseorang yang kupercayai memang menjadi satu hal yang benar-benar membuatku terpukul. Tapi, yasudahlah. Aku terlalu menganggap semua orang disekitarku adalah orang baik. Ehm.. mereka baik, hanya selalu punya kepentingan. Aku yang kurang cepat menyadari itu. Sudahlah. Aku tidak menyesal. Bagaimanapun ini adalah prosesku menjadi seseorang yang lebih baik dari sebelumnya. Iya kan?
.
Oke, lagi. Sebuah lagu kembali diputar diatas kepalaku, dan membuatku nyengir getir.
.
...terlalu sadis caramu
menjadikan diriku
pelampiasan cintamu
agar dia kembali padamu
tanpa perduli sakitnya aku
tega niannya caramu
menyingkirkan diriku
dari percintaan ini
agar dia kembali padamu
tanpa perduli sakitnya aku...     afgan-sadis
.
sepertinya mas-mas pemilik cafe ini sengaja memutarkan lagu ini. -_- ah, sudahlah!
.
Oke, kembali ke sini. Haha.. lagi lagi aku menemukan diriku terdiam dengan tatapan kosong barusan. hmm.. apalagi ya? Sepertinya tidak ada yang bisa kuceritakan disini. Ketika aku bercerita, aku hanya akan menjelek-jelekkan orang lain. Aku cukup bercerita tentang diriku kan. Ya inilah aku saat ini. Aku baik-baik saja, setidaknya aku merasa baik-baik saja. Mungkin ada sesuatu yang rusak parah disana sampai aku tidak bisa merasakan apapun. Tapi setidaknya aku bisa melupakan itu sampai selesai diperbaiki dan bisa ku gunakan lagi untuk orang lain yang lebih baik dari dia. Aku berhak mendapatkan seseorang yang lebih baik. Seseorang yang bisa memperlakukanku seperti aku memperlakukannya. Yeah... (sambil mengangkat dua jari ala jokowi..) haha..
.
Oke, mereka sudah datang. Hot machiatoku sudah dingin tapi masih bisa kunikmati. Dan ini waktunya bekerja. Oke, mas-mas ganteng tapi sudah punya istri yang itu sudah datang juga. Aku benar-benar harus mengalihkan konsentrasiku pada proyek ini, so, postingan ini cukup sampai sekian. Aku harap semuanya baik-baik saja. Buat bintang empat yang sepertinya juga cukup terpukul, dan buat bintang tiga yang aku yakin masih galau gara-gara bintang empat. Yah,, aku memang bukan siapa-siapa. Bahkan sepertinya pelarian pun bukan. Bukan figuran, tidak masuk dalam naskah. Hanya hembusan angin yang tidak perlu dipedulikan, tidak berarti, tidak cukup penting untuk dipedulikan dalam kisah kalian. Tapi aku punya kisah sendiri yang menjadikanku pemeran utama, jadi aku hanya perlu menemukan lagi kisah yang lebih baik bukan. Oke, selamat malam.

.
Green Book Cafe, 10.38 PM -meja yang sama saat terakhir kali aku kesini bersamamu, kawan-

Jumat, 09 Mei 2014

Run To You

With you Everything seems so easy
With you My heartbeat has found its rhythm
With you I’m so close to finding my home

With you I dont care if I’m a little bit crazy
Cause with you nothing’s wrong

I was broken I was wasted
Then you came like an angel in the rain
Love used to slip trough me like waters slips trough hands
But with you it changed I know I feel I’m closer to your heart
I am run run running to you And I’ll keep you safe forever
Through the tears trough the love and all the nights we share
I am run run running to you And I’ll keep you safe forever
Don’t you know my love don’t you know
two hearts can beat as one

Love used to slip trough me like water slips
trough hands but no more
No more lonely nights no more no more
So c’mon c’mon hold on hold on hold on

I am run run running to you And I’ll keep you safe forever
Through the tears trough the love and all the nights we share
I am run run running to you And I’ll keep you safe forever
Don’t you know my love don’t you know two hearts can

I am run run running to you And I’ll keep you safe forever
Through the tears trough the love and all the nights we share
I am run run running to you And I’ll keep you safe forever
Don’t you know two hearts can beat as one


Sebuah lagu untuk semua orang yang kucintai
:* :* :*